SALAM

Asslmkm. wr. wb
Terimakasih, sudah mampir di blog sederhana ini. Mudah-mudahan bisa menjadi ajang berbagi antar muslim/ah guna meraih predikat "khaer el nas anfa'uhum lil el nas".

KENALAN YUK!

Foto saya
Cairo, Egypt
Seorang ibu dari dua anak, yang terus berusaha untuk menjadi muslimah sejati. Sambil mendampingi suami membesarkan sang buah hati, tetap semangat nyantri di negeri kinanah.

Senin, 22 Desember 2008

PERINGATAN HARI IBU; BUKAN BID’AH, BAHKAN PERLU!

Di kalender hp saya, setiap tgl 22 Desember tertulis: “mother’s day; phone mom”, begitu pula di hari ulang tahunnya, tgl 6 Juni selalu tertulis: “mom birthday; phone her”, di hari idul fitri dan idul adha, selalu ada alarm untuk mengingatkan saya menelepon mimih (salah satu panggilan untuk ibu di keluarga sunda). Sebagai putri tertua yang tinggal jauh di rantau, saya selalu berusaha untuk tetap berbakti kepada orang tua walau hanya sekedar dalam bentuk do’a dan perhatian. Karena diakui atau tidak, ketika seorang anak beranjak dewasa dan memiliki keluarga kecil sendiri, kadang mereka disibukkan dengan keluarga kecilnya dan melupakan sang ibu. Bisa dibayangkan bagaimana nelangsanya seorang ibu yang sudah menghabiskan masa mudanya untuk membesarkan putra-putrinya kemudian di masa tuanya terlupakan begitu saja. Fenomena ini tidak hanya didapatkan di masyarakat Barat saja, bahkan di lingkungan muslim. Ironis banget kan? Bagaimana mungkin seorang muslim durhaka terhadap ibunya? sementara al qur’an dan hadits Nabi menegaskan kewajiban seorang muslim untuk berbakti terhadapnya, bahkan perintahnya digandengkan dengan kewajiban beribadah kepada Allah (QS. An Nisa: 36). Dalam HR. Bukhori Muslim, Rasulullah menjelaskan bahwa seorang ibu lebih berhak atas bakti anaknya, karena pengabdian yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anak-anaknya, mulai dari kandungan hingga mereka dewasa (QS. Luqman: 14 & QS. al Ahqaf: 15)
Tidak hanya itu, dalam surat Al Isra: 23, Al qur’an menjelaskan kepada muslim bagaimana cara memperlakukan orang tua: "Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa berbakti kepada orang tua, tidak hanya dilakukan selama mereka berada di dunia, bahkan setelah mereka tiada. Rasululah pernah ditanya oleh seorang sahabat apakah setelah ortu meninggal kita masih bisa berbuat baik terhadap mereka? Rasulullah menjawab: "yup, dengan mendo'akan mereka, memenuhi janji mereka, dan berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Dari pemaparan di atas, saya yakin, di antara kita tidak ada yang bisa mengingkari bahwa Islam menempatkan orang tua --terlebih ibu-- dalam posisi yang sangat spesial. Sebagaimana saya yakin, di antara kita tidak ada yang bisa mengingkari bahwa tidak semua muslim memperlakukan orang tuanya –terutama ibu—sebagaimana tuntunan al qur’an dan hadits. Kondisi inilah yang membuat Mushthofa Amin dan Ali Amin menggagas hari Ibu di Mesir. Sebagai wartawan senior yang membidani kelahiran harian ahbar el yaum, dua bersaudara ini banyak mendapatkan surat pengaduan dari ibu-ibu pembaca yang mendapatkan perlakuan buruk dari putra-putrinya. Dimulai dengan tulisan berupa ajakan kepada masyarakat luas untuk memperingati hari ibu di rubrik “fikrah” (ide), yang mendapatkan respon luar biasa dari pembaca, maka ditetapkanlah tanggal 21 Maret –hari pertama musim semi; karena seorang ibu selalu menjadi sumber kebahagiaan dan keceriaan sebagaimana halnya musim semi-- sebagai hari Ibu di Mesir.
Bagaimana dengan di Indonesia? Mengapa hari ibu diperingati tanggal 22 Desember? Jika kita melihat sejarah, asal muasal peringatan hari ibu di tanah air sebenarnya tidak ada kaitanya dengan fungsi ibu dalam keluarga. Sejarah Hari Ibu di Indonesia justru berawal dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Presiden Soekarno, melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Jika melihat sejarahnya, Sebenarnya akan lebih tepat apabila 22 Desember diperingati sebagai hari perjuangan perempuan bukan hari ibu, karena hari ibu memiliki konotasi lain dari misi awal yang digagas oleh kongres perempuan III. Dan inilah yang terjadi sekarang, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu sebagaimana peringatan hari ibu di negara-negara lain di dunia. Karena tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi sejarah, saya rasa kita tidak perlu berpanjang lebar dalam hal ini. Yang penting, fenomena yang ada di tanah air sekarang mengatakan bahwa 22 Desember diperingati sebagai hari ibu, dimana para anak disadarkan akan kewajibannya kepada ibu.
Di antara kaum muslim ada yang mencela adanya peringatan hari ibu dan melabelinya dengan perbuatan bid’ah. Berikut beberapa alasan mengapa peringatan hari ibu dikatakan kegiatan bid’ah”
1. Tidak ada teks agama yang menyinggung adanya hari ibu. Walaupun al qur’an dan hadits banyak menceritakan tentang keutamaan ibu, namun tidak ada satu tekspun yang menetapkan adanya peringatan khusus untuk ibu sebagai apresiasi atas jasanya. Apabila hal ini dianggap perlu, tentu Rasulullah tidak akan melewatkannya.
2. Apabila terbukti Rasulullah dan para salaf shaleh tidak memperingati hari ibu, maka orang-orang yang sekarang memperingatinya telah mengada-ngada hal baru yang tidak pernah ada dalam agama (bid’ah)
3. Dengan memperingati hari ibu, berarti kita sudah latah mengikuti perbuatan orang kafir. Padahal Tasyabbuh bilkuffar (ikut-ikutan orang kafir) diharamkan Rasulullah.
Mari kita coba menjawab alasan mereka satu persatu;
1. Benar, tidak ada teks agama yang menetapkan adanya hari ibu, karenanya hari ibu di berbagai negara Islam berbeda-beda waktunya. Namun sudah dijelaskan di muka bahwa kondisi umat Islam sekarang sudah jauh dari ajaran Islam yang menempatkan ibu sebagai orang yang memiliki hak atas bakti sang anak. Berapa banyak anak yang memperlakukan ibunya seperti babu, atau memperlakukan ibu dengan kasar, baik berupa ucapan atau perbuatan, padahal berkata “uh” saja dicela Al Qur’an. Dalam kondisi seperti ini, umat Islam perlu teguran, perlu diingatkan kembali akan ajaran agamanya. Di sinilah urgensi adanya peringatan hari ibu secara nasional, yang biasanya diwarnai oleh berbagai acara bertema ibu. Semua media pada hari ini mengangkat tema yang sama, tentang jasa ibu terhadap anak dan sebagai kompensasinya adalah hak ibu atas bakti sang anak. Diharapkan peringatan ini menjadi momentum untuk seorang anak melakukan evaluasi dan intropeksi atas perlakuannya terhadap ibu selama ini. Apabila ia telah menjalankan kewajibannya sebagai anak yang berbakti, maka ia patut mempertahankan sikapnya dan mengajak saudaranya untuk berlaku sama. Sebaliknya, apabila selama ini ia lalai menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak, maka hari ibu baginya merupakan momentum untuk berubah dan mulai menunjukkan baktinya pada sang ibu.
2. Maksud dari Peringatan Hari ibu adalah mengingatkan umat akan kewajiban mereka terhadap ibu sebagaimana digariskan al qur’an dan sunnah. Hal ini merupakan aflikasi dari taushiyah bilhaq. Apakah taushiyah bilhaq merupakan hal yang bid’ah? sementara alquran dengan tegas memuji orang-orang mukmin yang beramal sholeh dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran (QS. Al ‘Ashr)
3. Dengan melihat sejarah hari ibu di Mesir dan Indonesia di atas, terbukti bahwa peringatan hari ibu di negara muslim bukan sekedar mengikuti trend Barat. Peringatan hari ibu lahir dari kondisi masing-masing negara bukan karena budaya latah.
Akhirnya, saya kembalikan kepada anda, perlukah hari ibu? Atau ia merupakan bid’ah yang mesti ditinggalkan? Saya pribadi, melihat fenomena kedurhakaan yang merebak di tanah air merasa perlu adanya peringatan hari ibu secara nasional, siapa tahu dengan membaca arikel atau nonton film tentang pengorbanan ibu yang ditayangkan di hari ibu, semangat kita untuk berbakti padanya menjadi bertambah. Selamat hari ibu!
H10, Hari Ibu ke-80

Senin, 01 Desember 2008

Rayakan ‘idul Adha dengan berkurban

“Labbaik Allahumma labbaik, labbaika la syarika lak, innal hamda wanni’mata laka walmulk, lasyarika laka” sudah seminggu Abdurrahman, putra kami mengulang bacaan talbiyah. Kadang ia salah mengucapkannya, ketika saya mencoba memperbaikinya, dengan penuh keheranan ia bertanya: “kok mama bisa, seperti mister (pak guru) di sekolah dede?” dengan tersenyum aku jelaskan bahwa bacaan yang sering ia ulang-ulang itu disebut talbiyah yang merupakan niat berhaji, memenuhi panggilan Allah. Dengan semangat ia menimpali “iya mah kata mister, arkanul islam khomsa; syahadatu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, iqomush sholat, itaaudz dzakat, shoum ramadhan, wahijjul baeti limanistatho’a ilaihi sabila. Nanti, dede sama temen-temen di sekolah haji mah bilang labbaik Allahumma labbaik” Saya tersenyum melihat semangat bocah yang baru 4 tahun ini.
Besok, sekolahnya akan melakukan kegiatan manasik haji, rencananya akan dibuat miniatur ka’bah agar mereka bisa membayangkan manasik haji sebenarnya di Mekkah, para wali murid diminta untuk menyediakan kain ihram untuk putra-putrinya. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana lucunya mereka bertalbiyah dan melakukan thawaf dengan memakai kain ihram. Saya sangat bersyukur, sekolah-sekolah di Mesir sudah memperkenalkan acara-acara ritual religi kepada anak-anak sejak dini, menjadikan mereka mengenal, mengerti dan menjiwai agamanya jauh sebelum usia baligh. Sehingga mereka tidak lagi bertanya-tanya ketika sudah tiba waktu kewajibannya.
Selain kegiatan manasik haji, beberapa minggu sebelum hari kurban, sekolah-sekolah membagi edaran yang memberikan tawaran kepada wali murid untuk melakukan kurbannya di sekolah. Sementara sekolah yang sudah memiliki dana untuk kurban secara otomatis membeli hewan kurban dan memeliharanya di belakang atau bahkan di halaman depan sekolah; agar anak-anak didiknya melihat “kharuf el ‘id” (hewan kurban). Diharapkan dengan melihat hewan kurban anak-anak mengenal ibadah kurban yang disyari’atkan dalam Islam.
Berkurban bagi masyarakat Mesir bukan hanya memiliki nilai ibadah --berdasarkan QS. Al Kautsar: 2: "Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berqurbanlah." HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi menegaskan perintah ini, sekaligus menjelaskan keutamaan berqurban, Rasulullah bersabda –yang artinya--: "Tak ada amalan yang paling dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha daripada memotong hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban itu akan hadir pada hari kiamat (sebagai bukti amal pelakunya) lengkap dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya qurban tersebut akan sampai di sisi Allah sebelum darahnya menyentuh bumi." Beberapa riwayat menceritakan bahwa Rasulullah selalu melakukan qurban setelah disyariatkan pada tahun 2 H-- namun lebih dari itu, berkurban sudah menjadi budaya setempat. Apabila di Indonesia kurban masih identik dengan pak dan bu haji, di Mesir hampir semua keluarga yang memiliki kemampuan melakukan kurban. Sebagian masyarakat Mesir membeli hewan kurban beberapa minggu sebelum ‘idul Adha, bahkan tidak sedikit yang membelinya beberapa minggu setelah ‘Idul Fitri. Hewan-hewan kurban tersebut (biasanya kambing atau domba, ada juga yang berkurban sapi dan onta) diikat lehernya dengan tali berwarna-warni (biasanya; putih, merah dan hijau) untuk memberi tanda bahwa mereka dipersiapkan untuk kurban. Coba ibu-ibu perhatikan, sudah seminggu ini, di pojok-pojok jalan ada gerombolan kambing/domba yang ditawarkan pada orang-orang yang lalu lalang. Apabila selama bulan Ramadhan tenda-tenda atau lesehan maidaturahman (hidangan berbuka gratis) bertebaran mewarnai jalanan di Mesir, maka menjelang ‘idul Adha kambing/domba/sapilah yang bergerombol di pojok-pojok jalanan menanti diberi kehormatan untuk dijadikan hewan kurban. Pemandangan ini mungkin tidak akan kita temukan di negara lain.
Pada hari wukuf, kita akan mendengar anak-anak Mesir menyanyikan lagu-lagu rakyat yang menunjukkan bahwa esok hari merupakan waktu berkurban. Dan keesokan harinya setelah melaksanakan sholat ied el adha, hewan-hewan kurban tersebut disembelih, untuk kemudian dibagi 3 bagian; 1/3 dibagikan kepada fakir miskin, 1/3 dibagikan sebagai hadiah untuk kerabat dan sahabat, dan 1/3 untuk yang berkurban. Bagi yang tidak bisa menyembelih sendiri, bisa menggunakan jasa para tukang sembelih profesional yang pada hari itu keliling menawarkan jasanya. Setelah selesai prosesi kurban, sebagian masyarakat mesir melakukan ziarah kubur sebagaimana yang mereka lakukan pada ‘idul fitri untuk membacakan fatihah bagi ahli kubur. Setelah itu kita akan menemukan asap pembakaran daging di mana-mana; di balkon-balkon rumah, di halaman bahkan di taman-taman umum. Sangking melimpahnya daging pada ‘idul Adha, terciptalah sebutan baru untuk ‘idul Adha di mesir , yaitu ‘idul lahma (hari raya daging).
Hari-hari menjelang ‘Idul Adha juga diwarnai oleh acara halal bihalal calon jama’ah haji, di Mesir acara ini dikenal dengan sebutan “laylah liahlillah”. Biasanya dilalukan 2-3 minggu sebelum waktu keberangkatan, dengan mengundang kerabat, sahabat dan tetangga. Acara diisi dengan berbagai taushiyah dan nasyid-nasyid yang menyebutkan keutamaan ibadah haji dan mendo’akan keselamatan calon haji. Di antara adat masyarakat Mesir adalah memasang bendera kecil berwarna putih di atap rumahnya sebagai tanda bahwa anggota keluarga di rumah itu akan menunaikan ibadah haji. Kebiasaan ini masih bisa kita jumpai di desa-desa wilayah Mesir. Bahkan ada yang mencat rumahnya dengan warna putih, dan melukis gambar ka’bah dan domba, juga alat transportasi yang digunakan, gambar kapal laut atau pesawat. Gambar ontapun sering disertakan, walau sudah tidak ada lagi warga Mesir yang berhaji dengan onta, namun dalam benak mereka onta begitu erat kaitannya dengan ibadah haji; di samping sebagai alat transportasi haji satu-satunya pada masa dahulu, dengan ontalah kiswah ka’bah yang dibuat di Mesir dibawa ke Mekkah pada saat itu.
Pada hari H keberangkatan, calon jama’ah haji yang berada di pelosok, bersama-sama menuju Cairo (apabila menggunakan pesawat) atau Suez (apabila menggunakan kapal laut). Biasanya mereka menggunakan kereta dan diantar oleh kerabat, sahabat dan tetangga. Bahkan di beberapa pelosok rombongan wanita membawa pelepah korma sambil menyenandungkan lagu-lagu rakyat yang terkait dengan pelepasan jama’ah haji. Bisa dibayangkan bagaimana suasana stasiun-stasiun kereta di hari-hari keberangkatan jama’ah haji.
Nah, para pembaca, begitulah suasana hari-hari jelang Idul Adha dan hari Idul Adha di Mesir. Lagi-lagi kita bisa belajar dari masyarakat Mesir cara merayakan Idul Adha dengan berkurban, sebagaimana kita belajar dari mereka cara mengisi bulan Ramadahan dengan menyediakan maidaturrahman bagi orang berpuasa. Jazakumullah ya Ahla Misr!